anya. Menikah karena paksaan orangtua membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah dengan rasa terpaksa, aku tidak pernah menunjukkan sikap benciku kepada suamiku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tidak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan untuk meninggalkannya tapi aku tidak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orang tuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri semata wayang mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang sangat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang dia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga aku merasa dia sudah berkewajiban membuatku bahagia dan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tidak ada seorang pun yang berani melawan keinginanku. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tidak suka handuknya yang basah diletakkan di tempat tidur. Aku sebal melihatnya meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket. Aku benci ketika dia memakai komputerku untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dan aku juga marah kalau dia menghubungiku berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, aku tidak mau mengurus anak. Awalnya, dia mendukung keputusanku untuk minum pil KB. Rupanya dia menyembunyikan keinginan begitu dalam untuk memiliki anak. Hingga suatu hari aku lupa minum pil KB. Dia tahu namun membiarkannya. Singkat cerita, aku hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan. Itulah kemarahan terbesarku padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh dia melakukan semua keinginanku.
Waktu berlalu hingga anak-anak tidak terasa berulang tahun yang ke-8. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, dia mengingatkan aku kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya. Aku memilih pergi ke mall dan tidak hadir di acara ibu.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, dia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Dia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, aku memutuskan untuk pergi ke salon. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, aku terkejut ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam, aku tidak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tidak bisa kutemukan aku menelepon suamiku.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tidak punya uang kecil. Maka kuambil uang dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu dan kalau tidak salah aku meletakkannya di atas meja kerjaku.” katanya sambil menjelaskan dengan lembut.
Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. tidak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi. Meski masih kesal, aku mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada di mana?” tanya suamiku cepat, khawatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. tidak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering, suamiku sudah mengangkat teleponku. Aku mulai merasa marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, Ibu. Apakah ibu istri dari Bapak Arman?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi yang memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini dia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib, terdengar seorang dokter keluar menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Dia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri. Serangan stroke lah yang menyebabkan kematiannya. Sama sekali tidak ada airmata keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah, ibu dan mertuaku. Anak-anak memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tidak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak di mataku dan mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tidak menghalangi tatapan terakhirku padanya. Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tidak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Aku ingat betapa aku tidak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tidak pernah mengatur pola makannya. Dia selalu mengatur apa yang kumakan, memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan, dan dia pula yang tidak pernah absen mengingatkanku makan teratur. Bahkan terkadang dia menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tidak pernah tahu apa yang dia makan karena aku tidak pernah bertanya. Aku tidak tahu apa yang dia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu dia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tidak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tidak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Dia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.
Saat pemakaman, aku tidak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun jasadnya. Aku tidak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tidak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan. Aku terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku yang membujukku makan kalau aku sedang malas makan. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa. Ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap dia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Aku marah pada diriku sendiri. Aku marah karena semua terlihat normal meskipun dia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana dan meninggalkan wangi yang membuatku rindu. Aku marah karena tidak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tidak ada lagi yang membujukku agar tenang dan tidak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan padaku dan meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tidak pernah bekerja. Yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang dia transfer ke rekeningku untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tidak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tidak menyangka bahwa ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Aku tidak pernah sedikitpun menggunakan gaji itu untuk keperluan rumah tangga. Yang aku tahu sekarang, aku harus bekerja atau anak-anakku tidak akan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Dia membawa banyak sekali dokumen. Notaris itu memberikan surat pernyataan bahwa suamiku mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak. Yang membuatku tidak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab dan mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tidak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Tuhan memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu selamanya.
Tetapi aku tidak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tidak ingin kalian susah setelah aku pergi. Tidak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap kamu bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tidak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang sangat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang dia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga aku merasa dia sudah berkewajiban membuatku bahagia dan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tidak ada seorang pun yang berani melawan keinginanku. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tidak suka handuknya yang basah diletakkan di tempat tidur. Aku sebal melihatnya meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket. Aku benci ketika dia memakai komputerku untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dan aku juga marah kalau dia menghubungiku berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, aku tidak mau mengurus anak. Awalnya, dia mendukung keputusanku untuk minum pil KB. Rupanya dia menyembunyikan keinginan begitu dalam untuk memiliki anak. Hingga suatu hari aku lupa minum pil KB. Dia tahu namun membiarkannya. Singkat cerita, aku hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan. Itulah kemarahan terbesarku padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh dia melakukan semua keinginanku.
Waktu berlalu hingga anak-anak tidak terasa berulang tahun yang ke-8. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, dia mengingatkan aku kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya. Aku memilih pergi ke mall dan tidak hadir di acara ibu.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, dia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Dia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, aku memutuskan untuk pergi ke salon. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, aku terkejut ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam, aku tidak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tidak bisa kutemukan aku menelepon suamiku.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tidak punya uang kecil. Maka kuambil uang dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu dan kalau tidak salah aku meletakkannya di atas meja kerjaku.” katanya sambil menjelaskan dengan lembut.
Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. tidak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi. Meski masih kesal, aku mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada di mana?” tanya suamiku cepat, khawatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. tidak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering, suamiku sudah mengangkat teleponku. Aku mulai merasa marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, Ibu. Apakah ibu istri dari Bapak Arman?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi yang memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini dia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib, terdengar seorang dokter keluar menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Dia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri. Serangan stroke lah yang menyebabkan kematiannya. Sama sekali tidak ada airmata keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah, ibu dan mertuaku. Anak-anak memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tidak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak di mataku dan mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tidak menghalangi tatapan terakhirku padanya. Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tidak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Aku ingat betapa aku tidak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tidak pernah mengatur pola makannya. Dia selalu mengatur apa yang kumakan, memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan, dan dia pula yang tidak pernah absen mengingatkanku makan teratur. Bahkan terkadang dia menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tidak pernah tahu apa yang dia makan karena aku tidak pernah bertanya. Aku tidak tahu apa yang dia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu dia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tidak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tidak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Dia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.
Saat pemakaman, aku tidak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun jasadnya. Aku tidak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tidak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan. Aku terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku yang membujukku makan kalau aku sedang malas makan. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa. Ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap dia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Aku marah pada diriku sendiri. Aku marah karena semua terlihat normal meskipun dia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana dan meninggalkan wangi yang membuatku rindu. Aku marah karena tidak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tidak ada lagi yang membujukku agar tenang dan tidak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan padaku dan meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tidak pernah bekerja. Yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang dia transfer ke rekeningku untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tidak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tidak menyangka bahwa ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Aku tidak pernah sedikitpun menggunakan gaji itu untuk keperluan rumah tangga. Yang aku tahu sekarang, aku harus bekerja atau anak-anakku tidak akan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Dia membawa banyak sekali dokumen. Notaris itu memberikan surat pernyataan bahwa suamiku mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak. Yang membuatku tidak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab dan mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tidak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Tuhan memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu selamanya.
Tetapi aku tidak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tidak ingin kalian susah setelah aku pergi. Tidak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap kamu bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tidak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau dia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya, dia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tidak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tidak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya, dia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tidak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tidak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar