Tulisan saya ini, sebenarnya pernah sy muat di seputarforex.com
Namun sehubungan dengan script yang error, naskah monumental ini jadi hilang dari web portal tersebut, maka untuk mengabadikannya, saya posting disini aja... hohohohohooo...
___________________________________
Saya baru saja mengadakan wawancara imajiner dengan Mr. Forex.  Agaknya kali ini Mr. Forex benar-benar bisa kooperatif dengan saya,  setelah selama ini siapapun yang berusaha mengajak bincang dengannya  selalu dicuekin. Saya merasa mendapat kehormatan. 
“Hallo Mr. Forex, apa kabar?” Sapaku mengawali pembicaraan.
“Ba..ba.. baik…” Forex menjawab terbata-bata, dan sepertinya hampir menangis.
“Mengapa kau menangis?” tanyaku tak mengerti.
“Aku turut prihatin, mereka bermain-main denganku dan kehilangan uang.” Sekali lagi dia terisak-isak…
“Sudahlah, jangan bersedih! Kita bisa mulai perbincangan ini, kawan?” tanyaku sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Silahkan…!” Jawabnya pendek.
“Begini Mr. Forex… Boleh saya panggil Mr…?” tanyaku sedikit ragu-ragu.
“Boleh,” jawabnya sambil tersenyum.
“Anda tadi bilang mereka bermain-main denganmu dan kehilangan uang, bisa Anda jelaskan, Mr. Forex?”
“Saya ini memiliki karakter yang selalu tidak dipahami mereka.”
“Apa itu?”
“Pertama, Saya ini sulit ditaklukan, karena saya selalu benar. Saya  sulit diprediksi dan saya sulit dianalisa, karena saya tidak pernah  bilang kepada mereka kemana saya akan pergi, meskipun hanya naik dan  turun. Kedua, saya adalah pembenci psikologi buruk para trader yang  mentalnya serakah dan tidak sabar. Karena saya benci kedua sifat mereka,  maka siapa pun yang memiliki kedua sifat itu, akan saya telan duitnya  habis-habisan. Bodoh amat! Wis, kowe kang Sigit, ora usah tanya  alasannya. Ketiga, saya adalah sesuatu yang sangat perasa terhadap orang  miskin yang mencoba mengajakku “bercinta”. Ya, kasihan begitu  direla-relain hutang sana-sini, jual warisan (hanya ingin menjadi kaya  bersama saya), tetapi pada akhirnya loss juga. Duit yang dicari dengan  susah payah dimasukkan juga ke perutku. Begitu cintakah dia padaku?”
“Mengapa kau jahat kepada orang miskin, yang hidupnya pas-pasan, Mr.? tanyaku kemudian.
“Bukan jahat. Orang berkeinginan menjadi kaya itu boleh, malah yang  tidak boleh adalah menjadi orang miskin, dan yang dilarang adalah orang  miskin menjadi tambah miskin,” Mr. Forex menjelaskan sedemikian rupa  bagaikan Pak Kyai sedang memberi wejangan kepada santrinya.
Dia melanjutkan, “Khusus orang yang merasa miskin harta, jika  menyukai saya, tolong…jangan hutang dan jangan jual sesuatu yang  berharga gara-gara saya!”
“Mengapa?” tanyaku tak mengerti.
“Aku hanya khawatir, kalau mereka tambah miskin… Dan aku pasti sedih  mendengarnya. Aku ada sisi baiknya, kan? Aku justru tidak jahat kepada  mereka, tetapi karena saya peduli, Forex itu mahal, titik! Camkan!” kata  Mr. Forex sambil telunjuknya di tempatkan di dahiku. Kurang ajar ini  Mr. Forex.
“Mengapa anda menakut-nakuti orang miskin bermain forex?” tanyaku  masih tak mengerti. “Mereka ingin kaya!” lanjutku menentang pendapatnya.
“Anda benar, mereka ingin menjadi kaya, tetapi yang terjadi adalah  mereka akan semakin miskin. Oke, itung-itungan Ndul… Kalau orang miskin  itu terjun ke forex, minimal modal berapa? Wis di pek pahit ya 100 $,  barangkali tabungannya di ambil semuanya.”
“Oke,” kata saya mendengarkan Mr. Forex ngoceh.
“Kalau seminggu modalnya amblas, kena Margin Call, dia mau apa?” jawab Mr. Forex serius sekali.
“Apa dengan begitu, sudah harga mati bahwa mereka tidak boleh trading?” tanyaku memohon sebuah harapan untuk mereka.
“Oke, Ndul…!”
“Ndul-ndul… memang gundulmu pa?”
“Oke, Kang Sigit, mereka bisa, bahkan sangat bisa… Saya memberi harapan untuk mereka.”
“Horeeeeeee……..!”
“Tetapi ada syaratnya, mereka yang dengan modal kecil, hindari  news…karena kalau ada news… aku bisa berlari kencang, bahkan saya gak  tau mau lari kemana. Kadang bingung, makanya saya mbolak mbalik kaya  kesetanan.”
“He he he… Forex aja bisa kesetanan yah…! Ha ha ha ha ha. Okey, lanjutkan, Mr.!”
“Kalau mau, tunggu sebentar, biarkan saya mapan pada posisinya, mau  naik apa turun, lalu ikuti saya. Selanjutnya, saya memiliki rel untuk  saya berjalan, namanya trend…ikuti dia dan analisa trend di depan akan  kearah mana. Mau terus atau berbalikkah? Kemudian ambil waktu-waktu  terbaik yang kosong dari news, tinggal ngikuti trend itu saja. Masalah  teknis, kamu aja yang jelaskan!”
“Okey, kawan. Siap!”
“Selanjutnya, pesan saya nih untuk para trader, jangan terkecoh oleh gerakan saya.”
“Maksud Anda?” tanyaku masih tak mengerti.
“Iya. Saya kadang mau kasih mereka profit, tetapi ketika saya cuma  mau joged aja…turun dikit, eh…dia cut loss, padahal setelah itu saya mau  naik, bahkan tinggi sekali sesuai harapannya. Mereka gak konfirm dulu  dengan saya sih…”
“Ha ha ha ha…” Kami ngakak bersama.
“Lha, anda budeg! Diteriakin suruh naik-naik, malah turun…!” begitu, saya mengajak just kidding-an gitu…
“Aku kan gak bisa diperintah-perintah begitu…! Suka-suka gue donk!”
“Hei…! Dasar Anda ya, Rex. Kasihan mereka kan?” Sepertinya emosi saya sebagai seoarang trader tergugah.
“Lha, pekerjaanku dari dulu seperti ini, mereka sudah mempelajari  saya, berlatih dengan saya. Mereka harusnya tahu bahwa saya ini  serakah.”
“Lho koq serakah?” tanyaku heran.
“Oalah… Anda juga bodoh juga, Kang Sigit.” Dia melanjutkan malah bodoh-bodohin saya.
“Mereka dikasih modal 5000 $. Tiga hari ludes, ta makan. Ada yang  satu hari malah…modal 5000 $, lenyap ta makan. Padahal saya sudah  kenyang, eh mereka bikin account demo lagi, eh… dikasihkan ke saya lagi.  Kenyang sekali saya kang Sigit…Ha ha ha ha ha… Mereka gak pernah serius  di demo,” Lanjutnya kemudian.
“Harusnya?” tanyaku kemudian.
“Itu tanda bahwa perut saya isi berapa pun masuk… Mau 5000 $, 10.000  $ perut saya tidak penuh-penuh. Meskipun saya sebenarnya kenyang, dan  selalu berbisik kepada mereka, ‘Sudahlah, rekening bank Anda yang diisi,  jangan perut saya terus…Tetapi mereka gak dengar juga. Jadi yang budeg  siapa hayoooo!”
“Iya ya… Ha ha ha ha ha.”
“Jadi, pada saat mereka demo dengan saya, harusnya sadar bahwa saya  memiliki kebiasaan buruk itu, suka menelan uang berapa pun. Kalau sadar  demikian, mereka akan hati-hati, tidak serakah,dan bisa bersabar  menunggu saya menjemputnya. Kadang saya kasih signal kepada mereka bahwa  saya akan turun atau naik, tetapi mereka sudah terlanjur ambil posisi  dan salah…floating, maka tidak berani ambil posisi lagi, mungkin juga  karena dananya yang gak cukup. Hayo, salah siapa sekarang!”
“Oke, Mr.. Dasar! Anda memang tidak bisa disalahkan, ya…Lanjutkan Mr. Forex!”
“Bermain-main dengan saya itu resikonya besar, Kang Sigit,” katanya kemudian.
“Ya, I know…”
“Anda lihat untuk berkenalan dengan saya saja, mahal. Anda butuh  komputer, koneksi, kemudian butuh modal yang tidak sedikit juga. Itu  baru kenalan. Padahal saat kenalan pertama kali, saya ini telanjang…ups!  Malu saya. Ha ha ha ha ha. Mereka memberiku software indikator, kadang  mereka membeli mahal. Belum lagi mengikuti seminar-seminar. Malah ada  yang berguru sampai menyeberang lautan…ha ha ha ha.”
“Ya benar…”
“Makanya, tadi saya menangis bertemu Anda.” Dia tersenyum tak bermakna.
“Lalu?”
“Resiko adalah layak untuk dipertimbangkan, sebelum Anda benar-benar  di account real. Kalau sudah siap, belajar dan belajar, berlatih dan  berlatih, terus jemput profit Anda. Dan silahkan untuk bersiap siap  menjadi kaya.”
“Kaya kok perlu disiapkan?”
“Perlu, siap untuk tidak sombong, siap untuk konsisten terhadap sistem profit…dan bla bla bla… Untuk ini Anda lebih tahu lah…”
“Lanjut, Mr. Forex!”
Forex diam aja…
“Hei…!!! Rex…! Kenapa Anda, Rex!” Teriak saya keras-keras, tetapi Mr. Forex masih diam saja.
Pelan-pelan, Mr. Forex berubah… ya…berubah. Dia sudah menjadi chart  di depan saya. Dia diam di layar monitor laptop saya. Yang bergerak  hanya ujung lidahnya membawa harga-harga yang bergerak. Sekarang saya  yang menangis…. Bukan apa-apa, karena saya melihat Anda malah  tertawa-tertawa mendengarkan interview saya dengan Forex. Padahal, modal  Anda belum kembali di Forex. Masih loss…!
Rugi ah, kalau saya menangis. Saya tertawa saja menemani Anda. Ha ha ha ha ha ha……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar